Senin, 25 Februari 2013

Bhutan dengan tradisinya.

Di Thinphu ada Bhuda Geannt, dengan seekor binatang yang mirip dengan babi dan kambing yg disebut Takin, tapi sebenarnya cuma ada di kebun binatang. Ceritanya suatu ketika ada Bhiksu dari Tibet  yang bisa megadakan sulap/ keajaiban, jadi penduduk setempat ber-sorak2 minta  kepada Bhiksu agar dikasih keajaiban pada mereka. Lalu Bhiksu minta di masakkan babi satu ekor dan kambing satu ekor, lalu semua dimakan oleh sang Bhiksu,  lalu tulang2nya di gabung  semua. Nah besoknya terjadi keajaiban atau miracle, tulang2 berubah menjadi  seekor Takin  yang mirip babi dan kambing .
     Paginya kami berangkat menuju ke Punakha, jalannya lambat, karena banyak camion yang bawa perlengkapan bangunan dari India, atau batu, pasir, dari Punakha ke Thimphu untuk mencapai ke puncak gunung  kita menempuh perjalanan selama 4 jam, jalannya ber- liku2 dan kadang tidak ber aspal .
Di Puncaknya ada Dzong  dan 108 stupa, tiap stupa ada paung Bhudanya, katanya sebagai penghormatan  bagi orang yang meninggal melawan  orang Nepal, atau bagi siapa yg kurang terang disampingnya ada kain2 sembahyang yang berwarna - warni, menghiasi pengunungan. Dari puncak ini kita bisa melihat gunung yang namanya Les trois soeurs (tiga perempuan bersaudara).
     Dari sini kita turun dengan jalan pegunungan yang ber - liku2  menuju  restorant di Lobesa, karena kami sudah sangat lapar, untung sudah di pesan sebelumnya. Restorantnya bagus dibuat dari kayu dan jendelanya besar2, makanannya lezat karena sudah lapar, kita tinggal milih sesuai selera. Didaerah ini rumah2 kelihatannya selalu di hiasi dengan penis laki2, kalau di batak di hiasi dengan susu 4 buah, kiri kanan dua 2 sebagai lambang kesuburan katanya.
     Apakah ada persamaannya? jadi aku tanya  apa artinya  gambar itu pada guide yg bernama Dorji katanya itu sebagai lambang  pertilisatie, laki2 yang memberikan sperma, supaya berketurunan, harus di puja2, tanpa penis tidak ada keturunan. Hahahaha.  Di desa ini ada temple yang dikunjungi banyak orang, supaya punya anak, dan sesudah punya anak mereka harus datang tiap tahun untuk memberi sesajen, supaya anaknya tetap sehat.
     Menurut yang kudengar, orang yang beragama Bhuda, kalau orang meninggal, dibakar lalu abunya dibuang ke sungai. Benar ! Tapi di Bhutan lain ceritanya, kalian mau tau ?. Nantilah  pasti kalian merasa kaget seperti aku. Seperti yg sudah kuberi tahu, kami ada undangan resepsi pernikahan jam 11.waktu setempat, kami disuruh ke tenda yang sudah disiapkan di sawah, tidak jauh dari rumah pengantin. Di Depannya ditaruh daun pinus pengganti tikar, buffe terdiri dari danging kerbau, dengan ber macam2 reset, nasi soup telur, sambal, dll.
Kami berbaris untuk ambil makan, lalu duduk di kursi yang disediakan untuk orang yang tidak suka duduk dilantai tanah. Aku duduk ditemani family dari pengantin yang pintar berbahasa inggris. Di depanku ada seorang laki2yang langsung duduk bersila dan tengkurap, aku tanya tetanggaku karena kelihatan sudah agak lama dia dalam posisi yang sama, apakah dia lagi semedi?. Tetanggaku bilang bukan,.... dia itu sudah mabuk, memang benar karena tidak lama kemudian laki2 itu terguling kesamping seperti orang ketiduran ?.
     Dia dibiarkan begitu saja asalkan dia tidak menggangu orang lain, toh nanti dia akan bangun sendiri katanya. Oh ya sebelum makan kita di sodori minuman, yang dibawa tamu sebagai kado, berupa minuman seperti beer, wiski, alkohol lokal dari beras, jadi kita tidak heran kalau pesta harus minum alkohol, lalu mereka mulai menari dan menyanyi. Hingga kami pulang, yang tadi mabuk masih tergelentang disitu, belum bangun2.
     Dari situ kami pergi menuju ke tempat saman (dukun) kebetulan satu kampung juga, hanya dukun berkemah di utara, kami jumpai saman dan masuk kedalam tenda, didalam tenda ada kepala babi yang besar, katanya sih sebagai sesajen untuk roh halus. Ada juga lilin, sepertinya penuh, tapi aku kurang tau nama2nya. Dorji minta kalau bisa ambil photo, dengan syarat kasih uang dulu, mereka tiga orang, keluar dari tenda dan mulai berpose untuk di photo. Menurut Dorji, ini adalah kebudayaan mereka sekali setahun diadakan, dan semua orang dari desa datang ramai2, dan memberi uang.
     Kalau masyarakat ada yang tidak datang saat itu, dukunnya tidak akan mau datang kalau dipanggil untuk mengobati seseorang yang sakit. Menurut mereka saman masih dibutuhkan untuk obat tradisi onal, mereka sepertinya masih lebih percaya pada saman daripada dokter yg di rumah sakit, tapi untuk penyakit yang lebih parah mereka harus bawa ke India untuk berobat. Tapi sebelumnya saman lah yang dipanggil, untuk melihat calender, mana hari yang bagus, untuk pesta, utk bangun rumah, dan bagaimana panen tahun ini.
     Semuanya hanya saman(dukun) yang tau,... .kadabra.... kadabra .....blablabla, datanglah kau roh nenek moyangku, yang tinggal di lembah sileung. ,,,,,,,..sama dengan orang batak yah ? sayang aku belum tau bahasanya, tertarik juga aku mau belajar obat2 nya, lain kali aja deh,... kami harus kembali ke Paro, besok harus pergi mendaki gunung untuk melihat TIGER,S Nest(monaster Tksang Palphug) yang tingginya 3200 m.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar